Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Loksado: Petualangan 32 Jam (III)

4 komentar
Baca cerita sebelumnya di Loksado: Petualangan 32 Jam (II)

Pagi menjelang dengan indahnya. Suasana di pagi hari di dominasi oleh suara deras air sungai. Eh, ternyata ada banyak orang yang berbamboo rafting melewati sungai di dekat area perkemahan kami.

Sebelum memulai petualangan, mari kita
sarapan pagi dulu

Sarapan pagi ini benar-benar disiapkan oleh para cowok. Mungkin karena faktor perut mereka lapar, jadilah acara memasak pun diselesaikan dengan tangkas khas para lelaki. Walaupun begitu masakannya kuakui enak, boleh jadi karena faktor perut yang lapar. Sisa nasi yang ada digoreng karena sayang dibuang dan dijadikan bekal bagi yang lapar di tengah petualangan hari ini.

Petualangan hari ini dimulai dengan menyambangi Air Terjun Barajang, tempat yang ternyata direncanakan sebelumnya akan dijadikan tempat berkemah kami. Oh oh tempatnya menurutku sedikit mistik karena terdapat kuburan disana dan pernah menjadi TKP gantung diri. Alamak apa jadinya malam kemarin jika kami berkemah disana dan mengetahui cerita tersebut? Pasti tidurku tak selelap tadi malam. Meski begitu, toh keindahan Air Terjun Barajang tak bisa ditutupi. Sejenak kami menikmatinya sembari duduk-duduk di batu, berfoto, atau bermain air yang sangat dingin dari tepi sungainya.

Air Terjun Riam Barajang

Dari Air Terjun Barajang, kami berjalan kaki menuju Air Terjun Hanai yang rutenya susyeh banget. Harus hati-hati dan mengandalkan pijakan kaki yang mantap di tebing curam. Di sebelah kanan ada sungai berair deras yang berasal dari air terjun yang akan kami datangi. Akhirnya tibalah kami di lokasi air terjun yang katanya pernah menjadi salah satu tempat syuting FTV di salah satu TV swasta. Well, dimana-mana air terjun memang selalu indah. Dari 3 air terjun yang kami datangi, semuanya sama tidak terlalu tinggi. Yang membedakan Air Terjun Hanai dengan 2 air terjun sebelumnya yaitu area “kolam” sungainya yang lebih luas. Otomatis, jarak antara kami berdiri dengan air terjunnya cukup jauh kecuali kalau kamu mau berenang mendekatinya. Suasana di sekitar air terjunnya pun sangat indah. Bonusnya lagi waktu kami kesana tak ada wisatawan selain kami. Jadilah air terjun ini seperti berada di lembah terpencil yang tepat untuk menenangkan diri.


Air Terjun Riam Hanai


Dari dua lokasi air terjun ini menuju ke tenda kami mampir sebentar ke rumah warga yang menjual oleh-oleh khas Loksado yaitu gelang dan cincin yang dianyam dari jenis tumbuhan yang aku lupa namanya. Kebetulan pula saat itu bapak penjualnya sedang menganyam, kami pun merubung untuk melihat proses pembuatannya. Sekalian minta izin mengambil foto. Beruntung bapaknya ramah, selain membiarkan kami melihat penganyaman beliau juga memperlihatkan bahan baku daun (atau bagian tumbuhan) yang dijadikan gelang. Selain gelang juga ada kalung dan cincin berbagai ukuran. Beberapa anak ada yang beli, aku sendiri kurang tertarik. Sebenarnya waktu di balai informasi kami hendak mampir, karena disana juga ada penganyam gelang. Tapi yang unik disana ukuran gelangnya disesuaikan dengan ukuran pergelangan tangan kita, karena dianyam langsung di tempat. Kita juga bisa memilih warna dan model. Sayang, waktu kita hendak mampir antrian yang ingin dibikinkan gelang banyak sekali jadilah kita hanya mampir ke rumah warga yang berjualan gelang sudah jadi.


Oleh-oleh khas Loksado, gelang anyaman

Bapak penganyam gelang
Dari lokasi perkemahan kami langsung mengangkut barang-barang yang sudah dipacking. Bye-bye Loksado. Keluar dari gerbang utama wisata alam Loksado, kami bertemu dengan jalan yang berkelok dan menanjak. View ini mengingatkanku dengan perjuangan kami dulu saat napak tilas. Kami saling membantu agar semua anggota tim dapat melewati tanjakan dengan sukses. Tangan berpegangan agar tak ada yang terjatuh, yang masih kuat bertugas menarik yang mulai kelelahan. Ya, meskipun di jalanan mulus tapi tenaga kami waktu itu sudah terkuras di medan hutan yang terjal. Ahh, nostalgia nan indah. Sekarang 5 anggota Tim Alfa Putri tersebut sudah terpisah kota domisili.

Kembali ke dunia nyata, perjalanan masih dilanjutkan dengan melewati jalan tanpa aspal kembali seperti kemarin. Kami yang jalan kaki merasa lebih enteng dan lebih cepat sampai. Tapi bagi para cowok yang membawa sepeda motor, inilah puncak petualangan kami selama 32 jam. Jika kemarin jalanan menurun, sekarang kami harus melewati tanjakan tanpa aspal nan becek tersebut agar sampai di perbatasan dengan sukses. Sekitar selama satu jam  adegan saling bantu tarik motor oleh para cowok berlangsung. Mengapa motornya harus ditarik? Fyi, di satu tanjakan yang sangat curam dan tinggi, ban motor tak mampu lagi menggelinding dengan baik karena telah tertutup tanah becek. Jalanan yang licin dan becek pun membuat motor seperti sapi dengan kaki patah. Satu-satunya jalan adalah dengan menariknya menggunakan tali tenda. Dua orang menarik, satu memegang stang motor agar ban terarah, dan dua lainnya mendorong dari belakang. Untuk menaikkan satu motor diperlukan waktu sekitar 20 menit. Hitung saja total waktu yang dibutuhkan dengan jumlah motor 6 buah, itu belum termasuk waktu istirahat karena nafas yang hampir habis.


Semangat vroh

Kami yang perempuan sebenarnya tidak menyaksikan adegan tersebut karena kami disuruh berjalan kaki terlebih dahulu dan beristirahat ketika sudah sampai di perbatasan. Namun saat melihat para cowok yang kelelahan saat beristirahat, terbayang kok bagaimana capeknya mereka berjuang melewati medan berat jalan pintas tersebut. Nasi sisa sarapan pagi yang digoreng dan dibawa sebagai bekal pun ludes dimakan tanpa lauk oleh para ksatria ini. Perjuangan yang setimpal untuk memangkas jarak. Kalau lewat Kota Kandangan ke Loksado dari Barabai boleh jadi kami menempuh dua kali lipat jarak yang kami tempuh sekarang.

Ngaso dulu setelah melewati medan berat

Setelah cukup beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini setelah lewat jalan aspal di Desa Kindingan, masuk Desa Batu Panggung kami belok kanan, dimana aku pernah lewat saat pengambilan sampel dulu. Dari muara belokan desa tersebut sekitar 9 km menuju Desa Bulayak. Untuk sampai kesana kami melewati Desa Ambilik dan Desa Pasting yang tepat terletak di tengah-tengah pegunungan karst (batu kapur). Di Manggasang, kami mampir untuk memandikan sepeda motor yang berlumpur. Sama orangnya juga sih. Kami yang cewek duduk santai saja sambil menonton. Lagi-lagi karena hari libur, suasana yang semula sunyi, kemudian hingar bingar karena para pelancong mulai berdatangan.


Pegunungan Karst di Desa Pasting

Dari sana kami kembali ke sekolah lewat Desa Aluan dan Tanah Habang. Setelah selesai urusan beres-beres barang di sekolah, kita pun berpisah dengan anggota tim. Tapi aku dan suami tak ingin bergegas pulang karena kami ingin mengisi perut yang keroncongan terlebih dahulu. Jam 3 siang boleh dikatakan adalah akhir dari petualangan kami, meskipun sebenarnya jam 4 sore kami baru benar-benar tiba di rumah. Aku menghitung total perjalanan dari Loksado sampai ke rumah (hanya) sekitar 60 km.  Benar-benar 32 jam petualangan yang seru. Terima kasih suamiku telah memberikan kado menyenangkan di tanggal merah kali ini.


Motor dan pengemudinya mencuci diri
Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

4 komentar

Posting Komentar